-->

Makalah tentang Celempungan - GUGUMMAULANA.COM

A. Pengertian Celempungan

   Celempungan adalah grup musik yang merupakan bagian perkembangan dari celempung. Celempung sendiri merupakan alat musik yang terbuat dari hinis bambuyang memanfaatkan gelombang resonansi yang ada dalam ruas batang bambu. Saat ini celempung yang waditranya mempergunakan bambu masih dipertahankan di Desa Narimbang Kecamatan Conggeang Kabupaten Sumedang. Namun dalam celempungan, waditra celempungnya sudah diganti oleh kayu yang dibentuk ruang segi delapan yang hinis bambunya diganti dengan plat dari besi.
Alat pemukulnya terbuat dari bahan bambu atau kayu yang ujungnya diberi kain atau benda tipis agar menghasilkan suara nyaring. Cara memainkan alat musik ini ada dua cara, yaitu a) cara memukul; kedua alur sembilu dipukul secara bergantian tergantung kepada ritme-ritme serta suara yang diinginkan pemain musik,b) pengolahan suara; Yaitu tangan kiri dijadikan untuk mengolah suara untuk mengatur besar kecilnya udara yang keluar dari bungbung (badan) celempung. Jika menghendaki suara tinggi lubang (baham) dibuka lebih besar, sedang untuk suara rendah lubang ditutup rapat-rapat Suara celempung bisa bermacam-macam tergantung kepada kepintaran si pemain musik. Untuk saat ini alat musik ini sudah jarang dimainkan , dalam ensambel celempungan perannya sudah diganti  dengan kendang dan kulanter.
Selain waditra tersebut, dalam celempungan waditranya sudah ditambah dengan kecapi dan biola. Jadi kata celempu-ngan adalah kesenian celempung yang sudah ditambah dengan waditra lain. Katan “ngan” menganalogikan adanya penambahan fungsi waditra dengan maksud untuk membuat celempung lebih halus dan lebih bernada.
B. Sejarah Celempungan
Waditra celempung sendiri aslinya adalah alat yang tidak memliki nada baku, karena bunyi celempung keluar ketika alatnya dipukul pada pelat besinya, yang pada sebelum bunyi dihasilkan dengan cara memeukul hinis bambu, yang mana nadanya keluar sesuai dengan keinginan atau kepiawaian si penambuh waditra. Dalam celempungan, waditra kacapi dan biola adalah penuntun nada, dimana laras yang dipakai bisa jatuh padasalendro atau pelog, sedangkan dalam celempung nada yang dihasilkan bisa fleksibel yang kondisinya tidak dipatok oleh nada, bahkan celempung ini seringkali jatuh pada nada dimana tidak di salendro ataupun di pelog, nada tersebut sementara ini dinamakan nada timber, dia ada tapi belum terdeskripsikan dengan jelas, tapi jika hal ini di teliti lebih lanjut dia akan bisa memiliki nada yang mana alat yang dipakai bisa disesuaikan dengan keinginan si penabuh, karena bunyi yang dihasilkan dalam celempung sangat tergantung pada tipis tebalanya bambu yang dipakai.
Sekian jenis kesenian bambu yang ada di Jawa Barat, salah satu yang masih bertahan adalah seni celempungan. Kesenian ini memang terasa asing di telinga masyarakat, terutama masyarakat masa kini. Namun, kesenian ini mampu menunjukkan eksistensinya di tengah masyarakat hingga kini.


A. Bentuk Perkembangan Celempungan

 Seni celempungan lebih terfokus paduan alat-alat musik tradisional, seperti kendang, gong, kenong, suling, toleat, dan sebagainya. Namun, celempungan yang diangkat kali ini adalah sebuah alat musik yang terbuat dari bambu.
Menurut salah seorang pemain dan pencipta celempungan awi, Kang Dadang atau Ki Utunz, celempungan ini terbuat dari bilah bambu buluh atau awi gombong. “Pokoknya, awi yang bisa digunakan untuk dibuat alat musik celempungan ini harus awi yang berbatang besar. Lain dari itu, tidak bisa digunakan,” ungkap Ki Utunz yang ditemui di sela-sela pementasan Bandung Blossom atau puncak HUT ke-198 Kota Bandung di Jln. Merdeka Bandung, Sabtu (6/12).
Meski sudah lama memainkan dan membuat alat musik celempungan, Ki Utun tidak tahu sejak kapan alat musik ini mulai digunakan oleh masyarakat Sunda. Yang pasti, katanya, celempung menggantikan suara gong. Hal ini berdasarkan suara yang dikeluarkan dari alat musik ini, yakni “neng gung” (gong).
“Mungkin ketika itu gong yang sering digunakan dalam celempungan rusak, sehingga diganti dengan alat yang terbuat dari bambu,” katanya.
Bedanya, gong yang terbuat dari tembaga berbentuk bulat dan ada bulat cembung di tengahnya. Sedangkan gong yang terbuat dari bambu berbentuk panjang bulat dan ada beberapa senar bambu. Panjangnya tidak lebih dari satu ruas bambu yang dibentuk dan diraut sedemikian rupa dan diberi senar awi.
“Itulah kamonesan urang Sunda, bisa membuat goong (gong) terbuat dari bambu. Namun hanya sebagian kecil urang Sunda yang bisa membuat gong dari bambu,” paparnya.
B. Aspek / Pola Penyajian Pertunjukan

Cara penyajian kesenian celempungan hampir sama dengan kiliningan dan degung. Waditra celempungan terbuat dari awi gombong (bambu yang diameter tabungnya besar) yang disebut celempung. Selain waditra celempung, dalam celempungan diikutsertakan pula dua buah kecapi (kacapi indung dan kacapi anak), rebab, tarawangsa atau kadang-kadang suling dan goong buyung (gong duduk atau komodong). Lagu-lagunya pun seperti lagu-lagu pada gamelan salendro/pelog dalam kiliningan atau degungBiasanya alat musik celempungan dimainkan dengan alat musik bambu lainnya, seperti karinding dan toleat, yang ternyata mampu menarik perhatian masyarakat. Selain suara musiknya yang terbilang aneh, alat musiknya pun sangat langka. Terlebih celempungan buatan Ki Utunz jumlahnya lebih dari satu, sekitar delapan. Sehingga, bunyinya pun sangat menarik dan mempunyai nada yang berbeda.
Sedangkan alat musik karinding yang biasa dimainkan para petani di saung untuk mengusir hama burung manakala bulir padi sudah menguning. Penampilan musik karinding diiringi alat musik celempungan yang juga merupakan buluh bambu yang dipukul dengan alat pukul yang terbuat dari karet, cukup mencuri perhatian, karena dianggap aneh dan menarik.
Musik tradisional yang terbuat dari buluh-buluh bambu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kehidupan masyarakat di Jabar (suku Sunda). Sebagai indungna seni, musik angklung mewarnai riak kehidupan manusia, terutama di lingkungan pedesaan.
Sejak bayi dalam kandungan hingga dilahirkan dan dibesarkan dan berumah tangga, musik angklung selalu mengiringi lewat upacara adat maupun kaulinan dan hiburan urang lembur.
Kekayaan alat musik tradisi dari bambu, seperti angklung, calung, suling, toleat, celempung, karinding, awi sada, bangkong reang, dan lainnya, yang jumlahnya mencapai 114 jenis, tidak hanya turut memperkaya khazanah musik Tanah Air, tapi juga turut menjadi bagian kekayaan musik etnik dunia.
C. Kandungan Nilai Musical
Adapun lagu-lagunya adalah seperti Galuh dan Maung Lugay, juga Kidung Rahayu. Dilihat dari perkembangan nada yang dipakai bisa di pastikan celempungan lahir sesudah musik celempung ada, hanya tepat masanya sampai hari ini belum bisa ditentukan kapan celempung lahir begitu juga celempungan, karena dalam sejarah seni pertunjukan belum ada sumber lisan ataupun tulisan yang merujuk hal ini. Maka kami rekomendasikan hal ini untuk bisa diteliti lebih lanjut oleh para ahli seni yang juga konsen terhadap seni pertunjukan, karena walau bagaimana pun celempung dan celempungan pada sekarang walaupun pelaku dan penikmatnya masih terbatas, bahkan seniman celempung sudah hampir punah, maka hal ini sudah selayaknya untuk bisa lebih diperhatikan lagi.
Dan untuk pemerintah dukungan moril mapun materil terhadap perkembangan seni ini, seyogyanya juga bisa lebih besar lagi, karena hampir bisa di pastikan kalau seni ini adalah warisan tak ternilai dari para karuhun Sunda dimasa lampau dengan budayanya yang bersifat agraris, mereka sudah mampu untuk mengembangkan estetika bunyi yang dihasilkan oleh ruas batang bambu yang merupakan salahsatu cirri seni agraris. Dalam celempungan estetikanya semakin kentara karena inovasi penggabungan waditra kacapi dan biola yang nada-nadanya sudah terbentuk sempurna dalam dawai yang mengalun syahdu.
Namun sangat disayangkan, alat musik bambu tersebut baru kita rasakan sebagai milik kita setelah ada pengakuan dari negara lain. Selama ini seakan tidak ada daya upaya untuk turut serta melestarikan dan mengembangkannya agar negara lain tahu kalau musik bambu tersebut merupakan milik kita (Indonesia).
D. Popularitas Eksistensi Kesenian Celempungan

Dalam perkembangannya saat ini, keberadaan alat musik bambu kurang menarik minat anak muda. Hal itu lebih banyak disebabkan kurangnya kesempatan bagi seniman dalam berkreasi dan menampilkan kemampuannya. Bahkan, saat ini tidak hanya alat-alat musik serta kesenian dari bambu yang kurang diminati, tetapi juga para perajin bambu.
Celempungan adalah musik tradisional Jawa Barat yang terdapat di Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Purwakarta. Celempungan dapat disaksikan dalam acara-acara hajatan seperti pernikahan, khitanan atau pesta kenegaraan serta upacara-upacara lainnya yang dianggap penting.
Istilah celempung merupakan tiruan dari suara percikan air yang dimainkan oleh para  gadis desa ketika mereka mandi di sungai. Mereka biasanya memukul-mukulkan tangannya ke permukaan air sungai sehingga menimbulkan bunyi clem  pung, clem pung bersahut-sahutan. Mereka melakukan ini ketika mandi sambil bersenda-gurau bahkan sambil diselingi nyanyian. Orang desa menyebut perbuatan memukul-mukul permukaan air ini sebagaiicikibung.
Tabung awi gombong atau kayu jenis tertentu yang berdiameter 20 cm dan panjang 40 cm tersebut ujung bagian atasnya (beungeut atau mukanya) dibentangi dua buah dawai (senar) yang terbuat dari rotan atau sejenisnya. Kedua dawai tersebut dihubungkan dengan sumbi yaitu sepotong kayu yang berukuran 1 x 3 x 5 cm yang ditempatkan pada nawa (lubang pada muka celempung). Bagian pinggir salah satu dinding tabung celempung tersebut diberi lubang untuk pengatur dan pengolah suara. Mengatur dan mengolah suara ini dilakukan oleh tangan kiri karena tangan kanan memegang pemukul.
Sebagai penegang atau pengencang dawai, di ujung tabung tersebut diletakkan tumpangsari atau inang yang merupakan pengatur nada. Celempung ini berfungsi sebagai kendang pada kesenian celempungan seperti halnya fungsi kendang pada kiliningan atau degung kawih.
Cirikhas kesenian Sumedang yaitu Celempungan adalah grup musik yang merupakan bagian perkembangan dari celempung. Celempung sendiri merupakan alat musik yang terbuat dari hinis bambu yang memanfaatkan gelombang resonansi yang ada dalam ruas batang bambu. Saat ini celempung yang waditranya mempergunakan bambu masih dipertahankan di Desa Narimbang Kecamatan Conggeang Kabupaten Sumedang. Namun dalam celempungan, waditra celempung-nya sudah diganti oleh kayu yang dibentuk ruang segi delapan yang hinis bambunya diganti dengan plat dari besi.
istilah celempung merupakan tiruan dari suara percikan air yang dimainkan oleh para  gadis desa ketika mereka mandi di sungai. Mereka biasanya memukul-mukulkan tangannya ke permukaan air sungai sehingga menimbulkan bunyi clem  pung, clem pung bersahut-sahutan. Mereka melakukan ini ketika mandi sambil bersenda-gurau bahkan sambil diselingi nyanyian. Orang desa menyebut perbuatan memukul-mukul permukaan air ini sebagai icikibung.
E. Analisis Musicalitas
Selain waditra tersebut, dalam celempungan waditranya sudah ditambah dengan kecapi dan biola. Jadi kata celempu-ngan adalah kesenian celempung yang sudah ditambah dengan waditra lain. Kata “ngan” menganalogikan adanya penambahan fungsi waditradengan maksud untuk membuat celempung lebih halus dan lebih bernada.
Waditra celempung sendiri aslinya adalah alat yang tidak memliki nada baku, karena bunyi celempung keluar ketika alatnya dipukul pada pelat besinya, yang pada sebelum bunyi dihasilkan dengan cara memukul hinis bambu, yang mana nadanya keluar sesuai dengan keinginan atau kepiawaian si penambuh waditra. Dalam celempungan, waditra kacapi dan biola adalah penuntun nada, dimana laras yang dipakai bisa jatuh pada salendro atau pelog, sedangkan dalam celempung nada yang dihasilkan bisa fleksibel yang kondisinya tidak dipatok oleh nada, bahkan celempung ini seringkali jatuh pada nada dimana tidak di salendro ataupun di pelog, nada tersebut sementara ini dinamakan nada timber, dia ada tapi belum terdeskripsikan dengan jelas, tapi jika hal ini di teliti lebih lanjut dia akan bisa memiliki nada yang mana alat yang dipakai bisa disesuaikan dengan keinginan si penabuh, karena bunyi yang dihasilkan dalam celempung sangat tergantung pada tipis tebalanya bambu yang dipakai.

Adapun lagu-lagunya adalah seperti Galuh dan Maung Lugay, juga Kidung Rahayu. Dilihat dari perkembangan nada yang dipakai bisa di pastikan celempungan lahir sesudah musik celempung ada, hanya tepat masanya sampai hari ini belum bisa ditentukan kapan celempung lahir begitu juga celempungan, karena dalam sejarah seni pertunjukan belum ada sumber lisan ataupun tulisan yang merujuk hal ini.

Dan untuk pemerintah dukungan moril mapun materil terhadap perkembangan seni ini, seyogyanya juga bisa lebih besar lagi, karena hampir bisa di pastikan kalau seni ini adalah warisan tak ternilai dari para karuhun Sunda dimasa lampau dengan budayanya yang bersifat agraris, mereka sudah mampu untuk mengembangkan estetika bunyi yang dihasilkan oleh ruas batang bambu yang merupakan salahsatu ciri seni agraris. Dalam celempungan estetikanya semakin kentara karena inovasi penggabungan waditra kacapi dan biola yang nada-nadanya sudah terbentuk sempurna dalam dawai yang mengalun syahdu.

# pengertian #celempungan #adalah #makalah celempungan #seni celempungan
Previous
Next Post »

BOOKING SEKARANG JUGA !!!

google-site-verification=8UW9sNsKa0tUio1ZmpSscLiDjFmXaxwYZTxk9tXJ2jU